BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa dekade ini, kata halal menjadi suatu hal yang patut diperhatikan dalam industri yang mencakup berbagai bidang makanan, minuman, obat-obatan serta kosmetika. Ia merupakan komponen inti menyangkut bahan baku, proses produksi, proses pengadaan dan packaging sebuah produk. Halal menjadi potensi, peluang sekaligus tantangan bagi kalangan pebisnis untuk meningkatkan kualitas produknya dengan berbasis pada kehalalan sebuah produk. Tak dapat dipungkiri bahwa ada berbagai aspek dalam perilaku konsumen yang mempengaruhi perilaku pembelian. Bagi umat Islam aspek Halal memiliki pengaruh besar bagi pengambilan keputusan pembelian dan perilaku pembelian.Ia bukan hanya sekedar symbol agama dan bersifat normative, namun saat inihalal sudah menjadi symbol bagi jaminan kualitas, keamanan dan higienitas.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata
halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan
sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.. Menurut
ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama
dan hukumnya adalah wajib Dalam mengkonsumsi makanan (atau harta) , kita jelas
harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat. Dimaksud makanan halalan
thayyiban adalah makanan yang boleh untuk dikonsumsi secara syariat dan baik
bagi tubuh secara kesehatan ( medis). Makanan dikatakan halal paling tidak
harus memenuhi tiga kriteria , yaitu halal zatnya , halal cara perolehannya,
dan halal cara pengolehannya. Kata halalan, menurut bahasa Arab berasal dari
kata, halla yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Secara etimologi kata
halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan
sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.. Menurut
ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama
dan hukumnya adalah wajib Dalam mengkonsumsi makanan ( atau harta) , kita jelas
harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat . Diantara aturan ini
adalah sebagaimana yang termaktub dalam firman ALLAH S.W.T. surat al Baqarah
(2: 168) :
artinya
: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
An-Nahl(16): 114 artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang
telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah.” Ayat-ayat tersebut tidak saja menyatakan bahwa
mengkonsumsi yang halal dan suci hukumnya wajib, tetapi juga menunjukkan bahwa
hal tersebut merupakan perwujudan dari rasa syukur, ketaqwaan, dan keimanan
kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai
mengikuti ajaran syaitan. Terdapat pula beberapa landasan hukum berkaitan
dengan standarisasi halal, antara lain: 1. UU No. 7/1996 tentang Pangan.
Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan
produk pangan, yaitu Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30 dan 34. Bunyi pasal
dan penjelasan pasal tersebut adalah sebagai berilkut: Pasal 30 1) Setiap orang
yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas
untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan
pangan. 2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya
keterangan mengenai: a) Nama Produk b) Dafatar bahan yang digunakan c) Berat bersih
atau isi bersih d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi e) Keterangan tentang
halal f) Tanggal, bulan dan tahun kadarluwarsa Pasal 34 1) Setiap orang yang
menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah
sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab
atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan
tersebut. 2. PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan Ada dua pasal yang
berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu pasal 3, ayat (2),
Pasal 10 dan 11. Pasal 3, ayat 2 Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya:
a. Nama produk b. Daftar bahan yang digunakan c. Nama dan alamat pihak yang
memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia d. Tanggal, bulan dan
tahun kadarluwarsa Pasal 10 1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan
pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan
menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan
halal pada label. 2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Landasan Hukum dari
alqur`an dan yuridis Mengenai Halal Haram Cukup banyak ayat dan hadis yang
menjelaskan mengenai halal dan haram, diantaranya sebagai berikut: Al-
Ma’idah(5): 88
Fungsi
Standarisasi Halal Persoalan kehalalan sebuah produk merupakan persoalan yang
pelik dan tidak dapat dipandang mudah. Ia memerlukan kajian laboratorium yang
mendalam untuk memastikan bahan baku, proses pembuatan, media bahkan hingga
kemasannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya standarisasi halal. Standarisasi
halal ini memiliki fungsi untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan ketenangan
konsumen, terutama umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang haram. Hal
ini merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya adalah pada pasal 4
(a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pasal ini menunjukkan
bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas
konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi
olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang
tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, alias halal. Selanjutnya,
dalam pasal yang sama point (c) disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa. Hal ini memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan
oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan
demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa produknya halal,
sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan. Standarisasi produk
halal juga sangat dibutuhkan oleh para produsen untuk menarik minat konsumen
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ia juga penting untuk
meningkatkan daya saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan
negara-negara muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah ia
harus memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam
pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan dengan
biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat tersebut. Selain itu,
hal tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan investasi di industri
makanan, terutama bagi usaha skala kecil dan menengah (UKM).
Industri
halal saat ini telah berkembang seiring dengan kesadaran masyarakat untuk
mengkonsumsi produk-produk halal. Hingga akhir tahun 2009 pasar produk halal
dunia meningkat naik 9,3 persen atau 54 milliar dolar menjadi 634 milliar dolar
AS dari sekitar 1,8 milliar penduduk muslim di seluruh dunia1. Pasar terbesar masih didominasi
oleh pasar Asia dimana di Asia tenggara kebanyakan penduduknya adalah Muslim.
Dinegara Asia, seperti Indonesia, China, Pakistan dan India, rata-rata tumbuh
sekitar tujuh persen per tahun dan diperkirakan mencapai dua kali lipat dalam
10 tahun ke depan, Indonesia sendiri diperkirakan akan terjadi penambahan
permintaan produk makanan daging halal mencapai 1,3 juta metrik ton setahunnya.
Sedangkan negara Asia lainnya bisa mencapai dua juta metrik ton setahunnya.
Sayangnya industri di Indonesia masih banyak yang belum bersertifikasi halal.
Misalnya, dari data Perkosmi (Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia) jumlah
perusahaan kosmetika dan toiletries di Indonesia berjumlah 744, tetapi menurut
LPPOM MUI yang bersertifikat halal baru 23 perusahaan (3 persen). Artinya, 97
persen produk kosmetika yang beredar di pasaran tidak jelas kehalalannya. Dari
Data BPS (2006), industri pangan skala besar, sedang, kecil, dan rumah tangga
sebanyak 1.209.172. Namun, menurut LPPOM MUI baru tersertifikasi halal 874
usaha (0.070 persen). Makanan halal tak hanya terbuat dari bahan-bahan
halal, namun juga diolah dengan cara yang halal dan didistribusikan secara
halal.
BAB III
PENUTUP
Demi melindungi konsumen Indonesia
yang mayoritas muslim, konsep makanan halal itupun telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. "Konsep halal dan haram disusun berdasarkan Al-Quran
dan Hadits," Dalam jumpa pers 'Implementasi Sistem Jaminan Halal
di Industri Pangan', Jakarta, Rabu, 27 Januari 2010.
System Development and Halal Manager
Nutrifood, Hamsy Halid, menambahkan, label halal dalam kemasan produk harus
menyertakan label MUI, sebagai bagian sistem jaminan halal yang dipersyaratkan
LPPOM MUI. "Jaminan ini dapat diberikan setelah melalui rangkaian pemeriksaan
ketat atas produk yang disertifikasi dan sistem yang dimiliki perusahaan dalam
menjamin kehalalan produk yang dihasilkannya,” Ujarnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar