Sabtu, 05 Mei 2012

Tulisan Halal dari Segi Ekonomi

BAB I

PENDAHULUAN

Beberapa dekade ini, kata halal menjadi suatu hal yang patut diperhatikan dalam industri yang mencakup berbagai bidang makanan, minuman, obat-obatan serta kosmetika. Ia merupakan komponen inti menyangkut bahan baku, proses produksi, proses pengadaan dan packaging sebuah produk. Halal menjadi potensi, peluang sekaligus tantangan bagi kalangan pebisnis untuk meningkatkan kualitas produknya dengan berbasis pada kehalalan sebuah produk. Tak dapat dipungkiri bahwa ada berbagai aspek dalam perilaku konsumen yang mempengaruhi perilaku pembelian. Bagi umat Islam aspek Halal memiliki pengaruh besar bagi pengambilan keputusan pembelian dan perilaku pembelian.Ia bukan hanya sekedar symbol agama dan bersifat normative, namun saat inihalal sudah menjadi symbol bagi jaminan kualitas, keamanan dan higienitas.

BAB II

PEMBAHASAN

Kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib Dalam mengkonsumsi makanan (atau harta) , kita jelas harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat. Dimaksud makanan halalan thayyiban adalah makanan yang boleh untuk dikonsumsi secara syariat dan baik bagi tubuh secara kesehatan ( medis). Makanan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria , yaitu halal zatnya , halal cara perolehannya, dan halal cara pengolehannya. Kata halalan, menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.. Menurut ajaran Islam, mengkonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib Dalam mengkonsumsi makanan ( atau harta) , kita jelas harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat . Diantara aturan ini adalah sebagaimana yang termaktub dalam firman ALLAH S.W.T. surat al Baqarah (2: 168) :
artinya : “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” An-Nahl(16): 114 artinya : “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” Ayat-ayat tersebut tidak saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal dan suci hukumnya wajib, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari rasa syukur, ketaqwaan, dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan. Terdapat pula beberapa landasan hukum berkaitan dengan standarisasi halal, antara lain: 1. UU No. 7/1996 tentang Pangan. Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30 dan 34. Bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sebagai berilkut: Pasal 30 1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan pangan. 2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a) Nama Produk b) Dafatar bahan yang digunakan c) Berat bersih atau isi bersih d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi e) Keterangan tentang halal f) Tanggal, bulan dan tahun kadarluwarsa Pasal 34 1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut. 2. PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu pasal 3, ayat (2), Pasal 10 dan 11. Pasal 3, ayat 2 Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya: a. Nama produk b. Daftar bahan yang digunakan c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia d. Tanggal, bulan dan tahun kadarluwarsa Pasal 10 1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label. 2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Landasan Hukum dari alqur`an dan yuridis Mengenai Halal Haram Cukup banyak ayat dan hadis yang menjelaskan mengenai halal dan haram, diantaranya sebagai berikut: Al- Ma’idah(5): 88
Fungsi Standarisasi Halal Persoalan kehalalan sebuah produk merupakan persoalan yang pelik dan tidak dapat dipandang mudah. Ia memerlukan kajian laboratorium yang mendalam untuk memastikan bahan baku, proses pembuatan, media bahkan hingga kemasannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya standarisasi halal. Standarisasi halal ini memiliki fungsi untuk memberikan kepastian, perlindungan, dan ketenangan konsumen, terutama umat Islam, dari mengkonsumsi suatu produk yang haram. Hal ini merupakan salah satu hak konsumen yang dilindungi dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satunya adalah pada pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pasal ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, alias halal. Selanjutnya, dalam pasal yang sama point (c) disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hal ini memberikan pengertian bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian, perusahaan tidak dapat serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan. Standarisasi produk halal juga sangat dibutuhkan oleh para produsen untuk menarik minat konsumen Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ia juga penting untuk meningkatkan daya saing serta untuk kebutuhan ekspor, terutama untuk tujuan negara-negara muslim. Wujud dari standarisasi halal bagi produsen adalah ia harus memiliki sertifikat halal. Namun, disini terdapat permasalahan dalam pembuatan sertifikat halal. Yang mana para produsen merasa diberatkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat tersebut. Selain itu, hal tersebut menimbulkan terhambatnya pertumbuhan investasi di industri makanan, terutama bagi usaha skala kecil dan menengah (UKM).

Industri halal saat ini telah berkembang seiring dengan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi produk-produk halal. Hingga akhir tahun 2009 pasar produk halal dunia meningkat naik 9,3 persen atau 54 milliar dolar menjadi 634 milliar dolar AS dari sekitar 1,8 milliar penduduk muslim di seluruh dunia1. Pasar terbesar masih didominasi oleh pasar Asia dimana di Asia tenggara kebanyakan penduduknya adalah Muslim. Dinegara Asia, seperti Indonesia, China, Pakistan dan India, rata-rata tumbuh sekitar tujuh persen per tahun dan diperkirakan mencapai dua kali lipat dalam 10 tahun ke depan, Indonesia sendiri diperkirakan akan terjadi penambahan permintaan produk makanan daging halal mencapai 1,3 juta metrik ton setahunnya. Sedangkan negara Asia lainnya bisa mencapai dua juta metrik ton setahunnya. Sayangnya industri di Indonesia masih banyak yang belum bersertifikasi halal. Misalnya, dari data Perkosmi (Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia) jumlah perusahaan kosmetika dan toiletries di Indonesia berjumlah 744, tetapi menurut LPPOM MUI yang bersertifikat halal baru 23 perusahaan (3 persen). Artinya, 97 persen produk kosmetika yang beredar di pasaran tidak jelas kehalalannya. Dari Data BPS (2006), industri pangan skala besar, sedang, kecil, dan rumah tangga sebanyak 1.209.172. Namun, menurut LPPOM MUI baru tersertifikasi halal 874 usaha (0.070 persen). Makanan halal tak hanya terbuat dari bahan-bahan halal, namun juga diolah dengan cara yang halal dan didistribusikan secara halal.

BAB III

PENUTUP

Demi melindungi konsumen Indonesia yang mayoritas muslim, konsep makanan halal itupun telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. "Konsep halal dan haram disusun berdasarkan Al-Quran dan Hadits," Dalam jumpa pers 'Implementasi Sistem Jaminan Halal di Industri Pangan', Jakarta, Rabu, 27 Januari 2010. 

System Development and Halal Manager Nutrifood, Hamsy Halid, menambahkan, label halal dalam kemasan produk harus menyertakan label MUI, sebagai bagian sistem jaminan halal yang dipersyaratkan LPPOM MUI. "Jaminan ini dapat diberikan setelah melalui rangkaian pemeriksaan ketat atas produk yang disertifikasi dan sistem yang dimiliki perusahaan dalam menjamin kehalalan produk yang dihasilkannya,” Ujarnya.

 Sumber :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar