Senin, 07 Mei 2012

Keberadaan Koperasi dan KUD berkaitan dengan Pertanian


BAB I
PENDAHULUAN

Lemahnya bargaining power petani, jika kita cermati menunjukkan kegagalan kebijakan pemerintah disektor pertanian. Merujuk pada kasus kehancuran harga dan produksi di sektor pertanian maka semakin jelas bahwa sangat lemahnya kebijakan pemerintah pro-petani dan juga sekaligus mengisyaratkan belum optimalnya kinerja kelembagaan yang ada di tingkat pedesaan. Ambil saja kasus kinerja Koperasi Pedesaan (KUD), masih sering terdengar julukan KUD sebagai ‘koperasi berkacamata kuda’ karena hanya jalan satu arah karena harus tunduk pada perintah sang sais, yang karena dibina secara intensif oleh pemerintah malah melahirkan Departemen Koperasi padahal sebelumnya hanya dibawah Direktorat Jenderal dimasa era Orba itu. Namun  ternyata sejak era Orba hingga era Reformasi saat inipun  perkembangan KUD tidak juga cukup mengembirakan sebagai organisasi kolektif penting di tingkat pedesaan. Bahkan jika kita memaparkan dosa dari KUD adalah disamping perannya memonopoli di pedesaan adalah ketidakmampuan  untuk mengangkat nilai tukar petani. Intinya KUD masih belum menjadi penyelemat petani. 



BAB II
PEMBAHASAN

Koperasi Akan Jadi Distributor Pupuk ke Petani 

JAKARTA, Induk KUD - Kementerian Koperasi dan UKM segera bersinergi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Perum Bulog  untuk mengoptimalkan peranan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah meningkatkan produksi beras nasional.
Braman Setyo, Deputi Bidang produksi Kementerian Koperasi dan UKM, mengatakan kerja sama dengan Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dalam upaya menjadikan koperasi menjadi distributor utama pupuk kepada petani.
”Distribusi yang dimaksud melalui Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) di seluruh Indonesia. Sedangkan Bulog akan menampung produksi gabah dan beras petani  dengan harga normal. Tidak di bawah harga,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu, 25 Maret 2012.
Distribusi pupuk oleh Puskud menjadi penting karena padi merupakan kebutuhan utama petani untuk memproduksi beras.
Kementerian Koperasi dan UKM berkepentingan pada program ini karena tengah mengembangkan demplot sisitem budidaya beras di Provinsi Lampung.
Kegiatan ini hasil kerja sama petani sebagai pemilik lahan dengan Politeknik Universitas Negeri Lampung dan PT Vitafarm Indonesia.  Demplot yang difasilitasi Kementerian Koperasi dan UKM tersebut dimulai sejak September 2010.
Melalui program tersebut, diperkenalkan teknologi pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi padi sawah. Dengan demikian bisa meningkatkan kesejahteraan petani melalui kesuburan lahan sawah secara berkelanjutan.
”Pemerintah sedang mencanangkan swasembada pangan sekitar 10 juta ton pada 2014. Demplot sudah terbukti menghasilkan produksi beras sebanyak 8,5 ton per hektar pada 2010 dan meningkat pada 2011 menjadi sebanyak 11,7 ton per hektar,” ungkap Braman Setyo.
Oleh karena itu program demplot tersebut diharapkan bisa membantu pemerintah untuk mendukung program ketahanan pangan. Pekan lalu dilaksanakan panen bersama di Desa Karang Anyar, Pasewaran, Lampung.
Panen terhadap program demplot dihadiri Puskud dari Jawa dan Lampung, seperti dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jogjakarta, dan Banten. Pengelola Puskud dihadirkan agar bisa memahami kondisi panen yang melimpah sehingga menjadi stimulan menjadi distributor pupuk.
Program demplot yang dikembangkan di Lampung, segera dikembangkan maupun diadopsi seluruh provinsi lain. Dan program yang diusung Kementerian Koperasi dan UKM ini segera dilaksanakan di seluruh Indonesia.
”Itu sebabnya kami perlu membahas bersama Kementerian Koordinator Perekonomian dan Bulog, terutama agar bulog tidak membeli gabah dari petani di bawah ketentuan. Idealnya harus supaya program swasembada tercapai didukung distribusi pupuk oleh Puskud”.



Alternatif Solusi Pemberdayaan Koperasi Pedesaan

  1. Mengenalkan pendekatan sistemik dalam institusi pedesaan yang dalam hal ini Koperasi Pedesaan (KUD). Selama ini logika teori ekonomi yang digunakan adalah konsep insentif dalam pengambilan kebijakan. Dalam konsep intensif ini ada  insentif positif (reward)  dan insentif negatif (disincentive/penalty). Disini peran manusia sebagai pelaku kegiatan ekonomi sangat dominan. Konsekuensinya adalah adanya impact dan incident dari apa yang dilakukannya. Sayangnya kebijakan ekonomi yang bertumpu dalam konsep ini sering menimbulkan kegagalan karena sering kali menciptakan kebijakan kosmetik semata atau praktek-praktek rent seeking. Dan hal ini juga tidak jauh dari kenyataan kebijakan pembangunan pertanian terutama dalam sektor kelembagaan pedesaan, dimana masih saja bertumpu pada konsep insentif secara kurang tepat. Mekanisme pasar yang dianut oleh perekonomian kita tidak menafikkan berlakunya sistem harga sebagai refleksi dari insentif material yang berlaku. Disini harga berfungsi sebagai signal yang mecerminkan insentif atau disinsentif untuk melakukan sesuatu. Dengan begitu reaksi pelaku ekonomi terhadap harga adalah sangat sensitif. Ada biaya (cost) dan ada keuntungan (benefit). Harmoni yang dikembangkan dalam pendekatan sistemik ini adalah peran pelaku ekonomi dalam mewujudkan ekonomi yang getting the price right and consistent with the overall sustainability objectives.  Untuk itu dalam pendekatan sistemik ini maka merealisasi 4 preposisinya menjadi keharusan yaitu:  get the price right, get the regulation right, get the institution right dan get the law and its enforcement right. Dengan keempat unsur dalam pendekatan sistemik diatas akan terwujud suatu keserasian penggunaan sumber daya ekonomi masyarakat dan mekanisme ekonomi yang berlaku. 
  2. Posisikan peran pemerintah sebagai pendamping petani melalui insititusi Koperasi Pedesaan. Sebuah institusi pedesaan seperti Koperasi sangat sensitif terhadap perubahan. Manejemen organisasi yang lemah mengharuskan penanganan yang cukup serius. Disini peran pemerintah haruslah jelas dan tepat. Perintah harus memposisikan diri sebagai side guider (pendamping) ketimbang melakukan intervensi melalui kebijakan yang top-down. Hindari kebijakan-kebijakan yang bertendensi pemaksaan. Peran pemerintah dalam hal ini, haruslah open choices (pilihan terbuka) bagi koperasi pedesaan. 
  3. Bangun struktur dan sistem networking pada Koperasi Pedesaan. Selama ini dimaknai bahwa proses networking adalah proses kemitraan yang hanya sekedar dilakukan dengan sistem bapak-angkat dimana yang besar memberi yang kecil. Padahal networking adalah berusaha membuat bangunan kerjasama kelembagaan yang saling memberi manfaat dikedua belah pihak. Networking ini tidak saja antara kelembagaan yang pedesaan semata tapi juga pada kelembagaan yang terkait baik secara horizontal maupun vertikal. 



BAB III
PENUTUP

Jika pada awal tahun 1980-an, pemerintah telah all out mengembangkan sektor industri dan perbankan yang mampu memobilisasi dana cukup signifikan untuk pembangunan nasional. Maka kini saatnya semangat serupa seharusnya juga dilakukan untuk sektor pertanian minimal melalui institusi pedesaan semisal Koperasi. Hanya melalui transparansi reformasi kebijakan pemerintah yang melibatkan partisipasi masyarakat maka implementasi kebijakan tersebut akan dapat diterima semua pihak, termasuk si lemah petani dan koperasinya. Sudah jelas dengan artikel diatas bahwa saat ini keberadaan koperasi dan KUD sangat menolong keberadaan petani. Contoh kasus diatas bahwa koperasi akan menjadi distributor pupuk untuk petani, sistem ini akan dilakukan untuk seluruh Indonesia agar petani dapat merasakan kesejahteraan hidup sebagaimana dengan apa yang mereka inginkan. Pemerintah berusaha untuk koperasi dan KUD akan berlangsung dengan maksimal baik untuk kalangan usaha mikro, kecil dan menengah demi untuk meningkatkan produksi mereka. Meskipun untuk contoh kasus diatas hanya untuk pertanian namun koperasi dan KUD juga akan menolong untuk Peternakan dan Perikanan, contohnya adalah jika peternakan hasil dari susu sapi perah dapat dijual kepada koperasi dan KUD dan KUD akan menjual kepada distributor-distributor yang membutuhkan untuk bahan produksinya yang terbuat dari susu. 
Sumber : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar