Disusun Oleh :
Lisna Aswida
Nina Rahayu
Nina Rahayu
Puji Rama
Setiawati
Trias Juwita
2 EB 19
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Anak-anak adalah masa depan bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk komunitas, bangsa, dan negaranya. Anak-anak adalah masa depan kemanusiaan, tanpa anak, tidak ada masa depan bagi siapapun. Tidak memperhatikan kualitas hidup anak sama artinya dengan tidak memperhatikan kelangsungan hidup keluarga.
Semua pihak berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan dan, oleh karena itu, masa depannya akan sangat diperdulikan. Indonesia menunjukkan kenyataan pahit, sebagian dari anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan penelantaran. Pada tahun 2003 sekretaris Jendral PBB menugaskan perwakilannya di seluruh dunia untuk melakukan kajian mengenai kekerasan terhadap anak. Hasil yang dilaporkan pada tahun 20062 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah masalah global, di semua negara yang terlibat, anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti hukuman fisik, pemaksaan kerja atau eksploitasi dalam berbagai pekerjaan yang berbahaya (pertambangan, sampah, seks komersial, perdagangan narkoba, dan lain- lain), diskriminasi, perkawinan dini, dan pornograf.
Di Indonesia pada tahun 2010 tercatat 40.000-70.000 anak telah menjadi korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Mayoritas dari mereka dipaksa bekerja dalam perdagangan seks. Praktik-praktik tersebut terutama berlangsung di pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di Semarang, Yogya dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di lokalisasi, jalanan, tempat-tempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di Jawa Barat jumlah anak yang dilacurkan pada tahun 2010 sebanyak 9000 anak atau sekitar 30 persen dari total PSK 22.380 orang (Dinas Sosial, 2010). Mengacu kepada data Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, ada 150.000 anak Indonesia dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual. 5 Data tesebut menunjukkan bahwa semakin maraknya tindak pidana seksual komersial anak.
Medan tidak ketinggalan, pelacuran anak sudah menjadi fenomena yang menyedihkan sejak lama, bahkan sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Pelacuran anak di Medan banyak terjadi di tempat-tempat billiard, taman bermain, di pusat-pusat perbelanjaan, di cafe-cafe, di kos-kosan. Di Medan, jenis ESKA yang dialami anak adalah pelacuran anak baik yang berstatus sebagai pelajar dan tidak berstatus sebagai pelajar, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Hal yang paling mengejutkan adalah banyaknya anak-anak sekolah yang telah terjerumus dengan ESKA dan terlibat transaksi seks dengan para Tebe atau tubang, sebutan bagi para pelanggan mereka, dari 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam 41 diantaranya berstatus pelajar
dan 9 diantaranya berstatus bukan pelajar. Hubungan kuat lain antara perilaku seksual remaja sekolah dengan dunia pendidikan adalah, alasan yang digunakan para pelajar siswi yang melacurkan diri adalah alasan-alasan sekolah. Teman yang diajak atau dilibatkan ke dunia Tubang juga masih mempunyai kedekatan hubungan emosional yang diikat oleh kenyataan bersekolah di sekolah yang sama. Modus operandi yang digunakan dalam menjebak anak-anak masuk ke dalam dunia pelacuran, umumnya diajak oleh teman yang lebih dahulu masuk ke dunia ini, lalu diperkenalkan dengan tamu atau tubang. Selanjutnya anak-anak mencari tamu sendiri dengan cara ke diskotik, atau langsung menghubungi tamu tersebut.6
Pengaruh perkembangan sosial mengharuskan setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu secara rasional dan mendasar, agar setiap masalah yang timbul dalam masyarakat dapat dipecahkan sebaik-baiknya, demikian pula halnya anak-anak adalah masa depan keluarga dan bangsa,itu sebabnya semua orang tua berharap anak-anaknya bisa mengangkat harkat dan martabat keluarga dan keluar dari himpitan ekonomi.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti tepatnya pada Pusat Kajian Perlindungan Anak bahwa banyak anak yang baru duduk di bangku SMA yang setiap hari harusnya menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan menikmati masa remajanya justru lebih memilih menyisihkan waktunya untuk mencari uang saku, dengan berbekal lipstic, bedak, dan kondom serta tubuh yang molek menjadi aset panting bagi anak remaja yang berkomitmen untuk mendapat uang demi materi semata.
Anak-anak yang memiliki orangtua sekalipun dapat diperjualbelikan dengan mudahnya sebagai PSK, hal ini menjadi dilema bagi siapa saja khususnya orangtua. Begitu pula pembangunan nasional yang telah memanjakan aspek ekonomi telah menimbulkan dampak negatif, yang paling utama adalah munculnya sifat materialis dan individualis, hal inilah yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan semua masyarakat. Secara formal, kita mengaku bangsa yang bermoral yaitu moral Pancasila. Orang ramai-ramai memeriahkan slogan Pancasila, namun kenyatannya pada waktu yang sama Pancasila dilecehkan begitu saja.Bangsa ini tidak dapat maju dengan bermodalkan mental dan jiwa generasi yang hanya dihantui dengan keinginan dan kepuasan materi yang sesaat.7 Mental generasi bangsa yang semakin memburuk menimbulkan akibat yang sangat meluas dan mencolok terutama dalam hal terjadinya pengeksploitasian anak secara seks komersial. Seiring bergantinya kepemimpinan presiden dan dengan perjalanan pembangunan yang selama lebih dari setengah abad pembangunan nasional telah membuahkan hasil yang cukup spektakuler, terutama dibidang ekonomi. Indonesia bahkan kini disebut-sebut sebagai calon kuat “macan asia” mendatang.
2. TUJUAN
- Mengetahui latar belakang munculnya anak jalanan.
- Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan fenomena munculnya anak jalanan.
- Mengetahui alternatif model penanganannya, khususnya di wilayah JABODETABEK yang berbasis Keluarga
BAB II
PEMBAHASAN
Kekerasan sudah menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan yang dialami oleh setiap anak jalanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali kekerasan selalu menyertai mereka. Inilah yang disebut dengan teori spiral kekerasan yang dikemukakan oleh Dom Helder Camara. Yang menjelaskan tentang tiga lapisan kekerasan. Pertama, kekerasan ketidakadilan akibat egoisme penguasa dan kelompok. Kedua, perjuangan keadilan lewat kekerasan. Ketiga, kekerasan dari tindakan represi pemerintah.
Pada lapisan pertama ini anak-anak jalanan selalu tidak dihargai oleh negara apalagimendapatkan keadilan yang setara dengan anak-anak lainnya. Mereka selalu dianggap sampah masyarakat yang tidak berguna sehingga harus diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi. Atas nama keindahan dan ketertiban kota sering sekali anak jalanan menjadi tumbal atau objek kriminalisasi oleh aparatur negara yang dilegitimasi oleh pengusa melalui berbagai peraturan.
Egoisme Inilah yang memicu munculnya lapisan kedua di mana anak-anak jalanan melakukan perjuangan keadilan. Biasanya korban kekerasan bisa didorong untuk melakukan kekerasan. Sasaran kekerasan berupa simbol-simbol penguasa dan lain sebagainya. Lahirlah beragam demo atau unjuk rasa yang kadang anarki. Demo itu tak bisa dibiarkan begitu saja. Atas dalih stabilitas nasional, represi pemerintah berupaya memadamkan demo. Represi itu bermuatan kekerasan. Begitulah seterusnya di mana kekerasan akhirnya menjadi siklus dari sebuah ritme kehidupan anak jalanan.
Selain itu, kurangnya kepedulian dan sensitifitas negara terhadap permasalahan anak-anak jalanan telah menyebabkan berlakunya hukum rimba di tengah komunitas mereka. Di mana yang kuat yang berkuasa dan berhak melakukan kekerasan maupun eksploitasi terhadap mereka.
1) SIFAT PSIKOLOGI ANAK JALANAN
Anak jalanan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana. untuk ekspresi diri sekaligus sub-versi. Pada tingkat permukaan ditunjukkan perbedaan-perbedaan oleh mereka sekaligus menegaskan pertentangan dengan negara dan masyarakat sekitarnya (lihat Hebdige, 1979). Tubuh dijadikan sumber produksi dan aktivitas komunikasi dan menjadi lokasi pengetahuan yang krusial bagi komunitas dan hal ini membantu terjadinya produksi makna bagi kelompoknya. Melalui pencarian dan tingkah laku yang berbeda itu secara sengaja anak jalanan menolak dan mengejutkan kultur dominannya dengan mensub-versi nilai-nilai utamanya.
Ketika mulai tumbuh lebih besar, menampilkan nilai-nilai kejantanan merupakan aspek yang vital bagi anak-anak jalanan. Mereka secara teratur mulai berpartisipasi menyusun konstruksi kejantanan dengan mendiskusikan berbagai peran yang dilakukan oleh anak lain serta mengomentari penampilarmya. Meski secara sosial mereka dikategorikan sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk kedewasaan sebagai tanda pern ban gkanangan dari harapan-harapan yang ditentukan oleh masyarakat. Mereka memainkan peran yang selama ini dijalankan oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, menenggak minuman keras, ngepil, judi serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak cocpk untuk dilakukan oleh anak justru dianggap mampu membuat mereka merasa tumbuh dewasa dan menjadi jantan.
Judi, misalnya, merupakan permainan yang populer, meski dianggap ilegal dan dimainkan di tempat-lempat tersembunyi. Rata-rata mereka mengaku menikmati permainan judi karena nielibatkan resiko dalam pertaruhan, ketrampilan serta konsentrasi dan bila memenangkan permainan, ada rasa bangga menempati posisi puncak dari hasil permainan. Selain itujuga mendapatkan uang yang relatif banyak.
Seorang dewasa yang sering memperhatikan dan bergaul dengan anak-anak jalanan mengatakan bahwa jika dilarang untuk melakukan tindakan tertentu, maka anak-anak jalanan itu seperti disuruh. Apa pun akan dilakukan untuk menentangnya. Katanya, itu bagian dari indentitas pembangkangan. Atau dalam kata lain menolak dianggap (anak) kecil terus.
- Faktor Penyebab Lahirnya Anak Jalanan
Ada Penyebab Masalah Anak Jalanan:
1) Tingkat mikro, yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya.
2) Tingkat messo, yaitu faktor yang terjadi di masyarakat.
3) Tingkat makro, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat.
Pada tingkat mikro, sebab yang dapat diidentifikasi dari anak dan keluarga saling berkaitan, tetapi dapat juga berdiri sendiri, yaitu :
- Lari dari keluarga, disuruh bekerja (yang masih sekolah / putus sekolah), berpetualang, bermain-main / diajak teman.
- Penyebab dari keluarga; terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan / kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga, berpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang berakibat anak menghadapi masalah fisik, psikologis, dan social.
Pada tingkat messo, sebab yang dapat diidentifikasi yaitu:
a) Pada masyarakat miskin anak adalah asset untuk membantu peningkatan ekonomi keluarga.
b) Pada masyarakat lain yaitu urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anaknya mengikuti.
c) Pada masyarakat miskin anak adalah asset untuk membantu peningkatan ekonomi keluarga.
Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan selalu melakukan tindakan tidakterpuji.
Pada tingkat struktur masyarakat, penyebab yang dapat diidentifikasi adalah faktor :
§ Ekonomi, adanya peluang pekerjaan sector informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.
§ Pendidikan, biaya sekolah yang tinggi, perilaku gurur yang diskriminatif.
§ Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan, sebagian berpandangan anak jalanan merupakan kelompok yang memerlukan perawatan, (pendekatan kesejahteraan) dan sebagian yang lain memandang anak jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan keamanan).
Soeparman (2000; 7) menyatakan bahwa penyebab anak turun ke jalan, yaitu:
- Fungsi keluarga yang tidak berjaian;
- Adanya penolakan dari masyarakat;
- Keengganan anak untuk pelang ke rumah karena lebih senang di jalanan;
- Tekanan kekerasan hidup di jalanan, sehingga mereka perlu cara supaya hidup lebih aman di jalanan;
- Peluang pekerjaan sector informal terus meningkat juga melibatkan partisipasi anak;
- Keberanian anak untuk hidup di jalanan dan terpisah dari orang tua;
- Tekanan di jalanan masih lebih baik dibandingkan dengan di rumah, karena di jalanan masih mernberikan kebebasan kepada anak;
- Kompensasi karena prustasi dengan kondisi masyarakat secara umum dan pelecehan yang diterima.
2) KAITAN DINAMIKA KOTA DAN ANAK JALANAN
Anak jalanan merupakan fenomena perkotaan yang kompleks dan terus meningkat kuantitas dan kualitasnya. Fenomena permasalahan tersebut disebabkan berbagai faktor terkait seperti peradigma pembangunan yang sentralistik ditambah dengan nuansa reformasi serta mencuatnya konsep HAM, gaya hidup individualist materialisiik, konsumeristik serta kebijakan pemerintah yang tidak saling sinergi dan tidak berkoodinasi antar departemen.
Lingkungan perkotaan yang kumuh juga membuat sebagian anak lari ke jalan. Merebaknya anak jalanan juga diakibatkan oleh kegagalan sistem pendidikan yang cenderung kapitalislik, tidak banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin dan marjinal. Memang, kehadiran anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota-kota besar. Anak jalanan merupakan fenomena kota besar di mana saja Semakin cepat perkembangan sebuah kota semakin cepat pula peningkatan jumlah anak jalanan.
Kaitan fenomena anak jalanan dengan perkotaan adalah pada dinamika kota Negara Dunia Ketiga, yaitu proses migrasi dan urbanisasi. Napoleon Hillper mendefinisikan, pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan pekerja migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi.
Pekerja migran internal (dalam negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan penduduk umumnya dari desa ke kota (rural-to-urban migration), maka pekerja migran internal seringkali diidentikan dengan "orang desa yang bekerja di kota." Urbanisasi adalah ''proses pengkotaan" atau proses perubahan suatu desa menjadi kota. Secara nasional, urbanisasi bisa dilihat dari proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan dan proporsi orang yang bekerja di sektor non-pertanian. Sebagai contoh, pada tahun 1998, sebesar 31,5 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan sebanyak 49,2 persen bekerja di sektor non-pertanian (Suharto, 2002:149).
Pertumbuhan penduduk yang besar, persebaran penduduk yang tidak merata antar daerah, dan rendahnya daya scrap industri di perkotaan, menyebabkan urbanisasi di Indonesia termasuk dalam kategori "urbanisasi tanpa industrialisasi", "urbanisasi berlebih" atau "inflasi perkotaan" .
(Potter dan Lloyd-Evans, 1998; Suharto, 2002). Fenomena ini menunjuk pada keadaan dimana pertumbuhan kota berjalan cepat namun tanpa diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai, khususnya di sektor industri dan jasa. Akibatnya, para migran yang berbondong-bondong meninggalkan desanya dan tanpa bekal keahlian yang memadai tidak mampu terserap oleh sektor "modern" perkotaan. Mereka kemudian bekerja di sektor informal perkotaan yang umumnya ditandai oleh produktivitas rendah, upah rendah, kondisi kerja buruk, dan tanpa jaminan sosial.
Sejatinya, persoalan utama pekerja migran internal terkait erat dengan kondisi sektor informal perkotaan yang kerap disebut sebagai "underground economy" itu. Sebagai contoh, mereka yang, bekerja sebagai pedagang kakilima kerap menghadapi permasalahan seperti penggusuran, permodalan yang kecil, konflik dengan penduduk setempat, konflik dengan pengguna lahan publik lain (pejalan kaki, sopir angkutan kota, pemilik mobif pribadi, pemilik toko), dan konflik dengan petugas keamanan.
Persoalan lain yang cukup serius mengenai pekerja migran ini adalah menyangkut fenomena "pekerja migian anak-anak" yang meliputi anak jalanan, pekerja anak, dan anak perempuan yang dilacurkan (AYLA). Dalam laporannya, A Country Strategy for Children and Women, 2001-2005, pemerintah Indonesia dan UN1CEF memperkirakan jumlah pekerja anak sebesar 1,8 juta jiwa dan AYLA sebanyak 40.000-70.000 anak (Suharto, 20003). Selain bekerja di sektor yang berbahaya, mereka memiliki upah rendah, rawan eksploitasi dan perlakuan salah (abuse), serta tidak memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan mobilitas sosial vertikal. Mereka kemungkinan besar terjebak dalam "lingkaran kemiskinan" (vicious circle of poverty).
Selain itu, sepert; kritik Karl Marx, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik justru menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar hanya melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang kecil semakin terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan kemiskinan baru perkotaan. Dari situsai kemiskinan in! muncullah PKL, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang semakin kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Sketsa kemiskinan kota ini bukan merupakan fenomena kota di Surabaya saja, melainkan di semua kota sebagai konsekuensi dari ideologi pembangunanisme (teori rembesan ke bawah). Dalam kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam lingkup kaum pinggiran tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota. Itu karena asumsinya adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat ekonomi nasional dan sektor informal dengan sendirinya akan mendapat jatah rembesannya sehingga "pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran) menjadi konsekuensi logisnya.
3) SOLUSI YANG RELEVAN UNTUK MENGATASI MAKIN PESATNYA PERTUMBUHAN ANGKA KEBERADAAN ANAK JALANAN
Sejauh ini terdapat tiga model penanganan anak jalanan dengan pendekatan yang berbeda:
Community Based adalah model penanganan yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhirnya adalah anak tidak menjadi anak jalanan / sekalipun dijalan, mereka tetap berada dilingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya meliputi: pelatihan peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, dan kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang.
Street Based adalah kegiatan dijalanan atau penjangkauan penanganan terhadap anak langsung dilakukan ditempat anak tersebut sering berada, kegiatan ini berupa pendamingan terhadap anak agar mendapatkan perlindungan dari orang yang berperan sebagai pengganti orang tuanya.
Centre Based adalah kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah utus dengan keluarganya. panti menjadi lembaga pengganti keluarga untuk dan memenuhi kebutuhan anak seperti kesehatan, pendidikan, keterampilan, waktu luang, makan tempat tinggal, pekerjaan dan sebagainya.
Selther Based adalah model pendekatan dengan menggunakan rumah singgah sebagai transit dari aktifitas sehari-hari anak jalanan, rumah singgah umumnya sebagai sasaran antara bag! anak untuk kembali diperkenalkan pada norma-norma keluarga.
Menurut Soeparman (2000; 2) program penanggulangan anaka jalanan harus bersifat lintas sektoral, terpadu, komprehensif dan holistik, hal tersebut mencakup : a. Program penegakan hukum dengan pelaku utama yaitu jajaran pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
4) ASPEK HUKUM BAGI ANAK JALANAN
Ø Perlindungan Hukum
Bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak di dalam penelitian ini adalah hak yang timbul pada anak ( anak jalanan ) untuk mendapatkan perlindungan ( protection rights ) yang hakiki dalam setiap kehidupannya dari Negara, dengan demikian hak tersebut menimbulkan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara melalui perangkatnya yang bernama hukum agar tercipta tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang dapat melindungi hak-hak asasi dari anak. Mengapa demikian, karena peneliti ingin terkotak dalam pemikiran konvensional bahwa perlindungan hukum indentik dengan pernyataan bagaimana hukum itu mampu melindungi dan mengatur kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang sangat beragam.
Bahkan sesuai dengan yang dirumuskan Departemen Sosial Indonesia dalam petunjuk Teknis Pelaksanaan Penyantunan dan Pengentasan Anak Melalui Panti Asuhan, maka fungsi dari perlindungan hukum adalah untuk menghindarkan anak dari keterlambatan, perlalakuan kejam, dan eksploitasi oleh orang tua. Fungsi ini juga diserahkan kepada keluarga dalam meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengasuh anak dan melindungi keluarga dari kemungkinan perpisahan.
Hal di atas harus dibedakan dengan istilah perlindungan anak, karena hal ini tidak menunjukkan dengan apa perlindungan itu akan ditegakkan. Sebagaimana pengertian perlindungan anak itu sendiri yang tersebut di bawah ini :
- Perlindungan anak adalah segala daya dan upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintahan dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
- Perlindungan anak adalah segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Ø Perlindungan Hukum Anak dalam Perspektif Dokumen Internasional
Upaya perlindungan hukum bagi anak dapat di artikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas.* ( Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti Bandung. Tahun 1998 Hal. 153. ).
Ruang lingkup yang cukup luas dari masalah anak, terlihat dari cukup banyaknya dokumen/instrument internasional yang berkaitan dengan masalah anak ini ( diantarannya adalah masalah anak jalanan ), antara lain adalah sebagai berikut :
- Deklarai Jenewa tentang Hak-hak Anak Tahun 1924 yang kemudian dikukuhkan dalam Resolsusi Majelis Umum PBB Nomor 1389 (XIV) tanggal 20 November 1959 mengenai “Declaration on the Right of Child”
- Resolusi MU-PBB 40/33 tanggal 29 November 1985 mengenai “United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice” (The Beijing Rules).
- Resolusi MU-PBB 40/35 tanggal 29 November 1985 mengenai “the prevention of juvenile delinquency”
- Resolusi MU-PBB 41/85 tanggal 3 Desember 1986 mengenai ”Declaration on Social and Legal Principles relating to the Protection and Welfare of Children, with Special Reference to Foster Placement and Adoption Nationally and International.”
- Resolusi 43/121 tanggal 8 Desember 1988 mengenai “the use of children in the illicit trefic in narcotic drugs”
- Resolusi MU-PBB 44/25 tanggal 20 November 1989 mengenai “Convention on The Rights of the Child”
- Resolusi ECOSOC 1990/33 tanggal 24 Mei 1990 mengenai “The Prevention of Drug Consumption among young Persons”
- Resolusi MU-PBB 45/112 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “United Nation Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency” (The Riyadh Guidelines)
- Resolusi MU-PBB 45/113 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “United Nation Rules for the Protectionof Juvenile Deprived of The Their Liberty”
- Resolusi MU-PBB 45/115 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “The Instrument Use of Children in Criminal Activities”
- Resolusi Komisi HAM PBB 1993/80 tanggal 10 maret 1993 mengenai “The Application of International Standards concerning the Human Rights of detained juveniles”
- Resolusi Komisi HAM 1994/90 tanggal 9 maret 1994 mengenai “The need to adopt effective international measures for the prevention and cradication of the sale of children, child prostitution and child phornograpy”
- Resolusi Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 maret 1994 mengenai “The Plight of Street Children”
- Resolusi Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 maret 1994 mengenai “The effevts of armed conflicts on children’s lives”
- Kongres PBB IX tahun 1995 mengenai “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”, diajukan dua draft resolution mengenai :
- Application of United Natiobs Standards Norms in Juvenile Justice (Dokumen A/CONF.169/L.S)
- Elimination of Violence Againts Children (Dokumen A/CONF.169/L.11)* (Barda Nawawi Arief. Ibid Hal 457)
Jadi perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam proses peradilan, tetapi mencakup spectrum yang sangat luas.
Ø INSTRUMEN HUKUM
Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak ( Convention on The Rights of The Child ) tahun 1989* (Convention on The Right of The Child, UNICEF, 1990), telah di ratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga Negara Indonesia.
Konvensi Hak-hak anak merupakan instrument hukum yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi hak anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.
Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:
1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).
Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.
Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2) hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).
2. Hak terhadap perlindungan (protection rights)
Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara.
Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.
3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights)
Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak, (3) membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak untuk bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, (4) hak untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak untuk mengembangkan kepribadian,(6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak untuk didengar pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.
4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)
Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat.
Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang
dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.
Ø KEWAJIBAN NEGARA PERATIFIKASI
Negara peratifikasi seperti Indonesia juga berkewajiban mengusahakan prosedur pelaporan dan pembentukan lembaga yang mendukung hak-hak anak. Adapun kewajiban Negara peratifikasi selain mengimplementasikan hak-hak anak tersebut adalah
- Membentuk sebuah komisi yang disebut dengan Komisi Nasional Hak Anak (pasal 43)
- Membuat laporan nasional (country report) kepada UNICEF dalam rangka monitoring pelaksanaan Konvensi Hak Anak. Adapun kewajiban dimaksud dilaksanakan pada saat dua tahun setelah Negara peserta meratifikasi Konvensi Hak Anak, dan laporan rutin setelah itu dalam periode lima tahun sekali (pasal 44)
Laporan yang dimaksud adalah mengenai factor-faktor dan kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban-kewajiban Negara peserta. Selain itu laporan dimaksud memuat informasi yang memadai untuk memberikan pemahaman menyeluruh mengenai kemajuan dalam implementasi Konvensi Hak Anak. Jadi dalam hal kewajiban untuk membuat laporan ini, Pemerintah Republik Indonesia telah mengusahakan dan mengirimkan laporan pertama pada tahun 1992 yakni (dua) tahun setelah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan kemudian kewajiban untuk membuat laporan limat tahun berikutnya pada tahun 1997.
v. PENGENTASAN ANAK JALANAN
Definisi Pengentasan Anak Jalanan
Pengentasan anak jalanan adalah usaha untuk memberikan bimbingan dan pembinaan baik fisik, mental dan social kepada anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Usaha pengentasan ini dapat dilakukan oleh Panti Asuhan, asuhan keluarga atau pengangkatan anak. ( Pasal 6 Ayat 2 PP.No.2 Tahun 1998 ).
Pengentasan anak ditujukan untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi social anak. Fungsi ini mencakup suatu kombinasi dari berbagai keahlian teknik dan fasilitas-fasilitas khusus yang ditujukan guna tercapainya pemeliharaan fisik, penyesuaian social dan psikologis, penyuluhan dan bimbingan pribadi maupun kerja, latihan kerja serta penempatannya.
v Landasan Hukum mengenai Usaha Kesejahteraan Anak
Sebagai salah satu upaya mencegah dan mengentaskan anak jalanan dari eksploitasi ekonomi adalah dengan usaha mensejahterakan anak jalanan. Untuk itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Yang Mempunyai Masalah, terutama pada BAB II Pasal 2 menentukan bahwa :
- Usaha kesejahteraan anak pertama-tama dan terutama menjadi tanggung jawab orang tua.
- Pemerintah dan atau masyarakat melaksanakan usaha kesejahteraan anak dengan tujuan membantu mewujudkan kesejahteraan anak.
- Pemerintah mendorong, membimbing, membina masyarakat untuk berperan serta melaksanakan usaha kesejahteraan anak.
Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan social yang ditunjukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak (Pasal 1 angka 1 huruf b UU. No.4 Tahun 1979). Pemerintah dalam hal ini memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang di lakukan oleh masyarakat.
Usaha-usaha kesejahteraan anak sesuai PP No.2 Tahun 1988, adalah suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan anak, agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun social. Usaha kesejahteraan anak yang dilakukan pemerintah, masyarakat ditujukan terutama kepada anak yang mempunyai masalah antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, (kategori tersebut terpenuhi dalam kehidupan anak-anak jalanan) dari anak cacat. Usaha ini dimaksud memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah khususnya kepada anak-anak jalanan.
Pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi dilaksanakan dalam bentuk asuhan, bantuan dan pelayanan khusus. Asuhan ditujukan kepada ana yang mempunyai masalah antara lain : anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelakuan terutama kepada anak-anak jalanan.
Asuhan itu sesuai dengan Pasal 6 (2) PP No.2 Tahun 1988 diberikan antara lain dalam bentuk :
1. Penyuluhan/bimbingan dan bentuk lainnya yang diperlukan
2. Penyantunan dan pengentasan anak
3. Pembinaan/peningkatan derajat social anak
4. Pemberian/peningkatan kesempatan belajar
5. Pembinaan/peningkatan keterampilan
Pelaksanaan asuhan tersebut dilakukan baik di dalam maupun di luar panti social, yang lembaga atau kesatuan kerja yang merupakan prasarana dan sarana yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan profesi pekerja sosial maupun luar panti (Pasal 1 ayat 6 PP No.2 Tahun 1988).
Sementara bantuan yang ditujukan kepada anak yang tidak mampu berupa materi dalam rangka usaha pemenuhan kebutuhan pokok anak, bantuan jasa dalam rangka usaha pembinaan dan pengembangan untuk mengarahkan bakat dan keterampilan, bantuan fasilitas, diberikan dalam rangka usaha mengatasi hambatan-hambatan sosial (pasal 7). Bantuan ini dapat diberikan secara langsung kepada anak melalui orang tua/wali, yang tata cara pemberian dan penanganannya di atur oleh Menteri Sosial. Seperti salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1981 tentang Organisasi Sosial Yang Dapat Menyelenggarakan Usaha Penyantunan Anak Terlantar.
Kemudian mengenai Pelayanan khusus sebagai upaya yang dilaksanakan untuk memulihkan dan mengembangkan anak cacat agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 1 ayat 5 PP No.2 Tahun 1988) meliputi : bimbingan, pemenuhan kebutuhan pokok, pemberian keterampilan, pendidikan, pemberian bantuan/fasilitas dan pembinaan lanjutan.
v Landasan Hukum : Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Kesejahteraan Anak
Tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak meliputi kesehatan, pendidikan, pembinaan atau pembetukan kepribadian. *(Arief Gosita, “Masalah Perlindungan Anak”, Liberty Yogyakarta 1991. Hal.21). Bab III Undang-undangn No.4 Tahun 1979 mengatur tentang tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak. Dimana dikatakan pertama-tama yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak, adalah orang tua (Pasal 9). Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhanya sebagai orang tua terhadap anak (Pasal 10 ayat 1). Apabila hal ini terjadi, maka di tunjuk orang atau badan sebagai wali.
Pencabutan kuasa asuh ini tidak menghapuskan kewajiban orang tua tersebut untuk membiayai sesuai kemampuan penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anaknya. Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ini ditetapkan dengan keputusan hakim. Jadi jelasnya pencabutan kuasa asuh itu harus ditunjukan kepada pengadilan, demikian juga pengembaliannya. Bentuknya adalah permohonan penetapan hakim. Untuk itu harus ada pihak yang mengajukan permohonan misalnya salah seorang dari keluarga. Misalnya dalam keadaan orang tua sudah bercerai pemohon boleh ayah atau ibu si anak, atau juga boleh keluarga dalam garis lurus. Hal ini lah yang tadinya ingin di samping di dalam Undang-undang Pengadilan Anak.
v Landasan Hukum : Peran Serta Masyarakat dan Pengawasan
Menurut Pasal 12 PP No. 2 Tahun 1988, masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam melaksanakan usaha kesejahteraan anak yang dapat di selenggarakan oleh badan sosial atau perseorangan. Untuk itu pemerintah dapat memberikan bimbingan, konsultasi, dorongan dan bantuan. Pemberian bimbingan dan konsultasi dimaksudkan agar pelaksanaan usaha kesejahteraan anak oleh masyarakat sejarah dengan kebijaksanaan pemerintah. Pemberian dorongan dan bantuan dimaksud untuk memberikan dorongan agar masyarakat dapat lebih meningkatkan peran sertanya dalam usaha mewujudkan kesejahteraan anak.
Sangat penting untuk menjadi perhatian apabila ternyata usaha penyejahteraan anak sebagai salah satu upaya pengentasan anak jalanan dari eksploitasi ternyata mengalami hambatan dalam implementasinya, maka pengwasa terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh Mentri sosial haruslah bersifat responsive.
Andaikata anak-anak jalanan itu tidak dapat dikembalikan ke dalam system sosial yang wajar (orang tua, panti asuhan, atau masyarakat normative pada umumnya ) sebagaimana terjadi dalam banyak kasus, atau karena alasan lain seperti kurangnya tempat penampungan untuk mereka, maka tidak ada cara lain jikalau ingin tetap peduli kecuali dengan memperhatikan anak-anak jalanan itu dalam keadaan mereka yang sebenarnya, atau senyatanya. Anak-anak jalanan perlu tahu dunianya sendiri yang keras, peluang-peluang yang sempit dan tantangan-tantangan yang berat, agar dapat mempertahankan hidupnya. Untuk itu diperlukan Lembaga Swadaya Masyarakat yang mampu memberdayakan (empowering) mereka. Tetapi upaya ini amat sulit, membutuhkan tenaga relawan yang banyak dan tentu saja biaya. Tidak heran apabila mereka bergabung dan mungkin juga menerima bantuan dari masyarakat luas yang peduli pada pemberdayaan ini. Hingga pada akhirnya banyak LSM yang mendirikan sekolah jalanan (street educators). Seperti yang terjadi di bawah ini :
1. Di Peru
UNICEF mendanai pendidikan jalanan yang telah dipelopori di Amerika latin walaupun saai ini pendidikan anak jalanan telah berhasil ditiru diseluruh dunia. Di Peru UNICEF mendanai pendidikan anak jalanan yang dilaksanakan oleh lembaga nasional untuk kesejahteraan kelurga. 54 pendidik telah melakukan kontak dengan anak-anak jalanan, membantu mereka kembali ke sekolah, membantu dalam memperoleh perawatan kesehatan dan mendukung usaha mengintegrasikan mereka dengan keluarga mereka. Sejauh ini mereka telah berhasil mengintegrasikan kembali 1200 anak kedalam sekolah.
2. Di Philiphina
Organisasi-organisasi Non Pemerintah berpartisipasi dalam proyek nasional pada anak jalanan. Pendidikan yang dikembangkan adalah pendidikan alternative untuk anak-anak jalanan yang bekerja di jalanan dan di perkotaan.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
- Terlihat bahwa kehidupan kelurga sedang mengalami masa transisi dari kehidupan keluarga besar menjadi keluarga inti, dari budaya tradisional pedesaan menjadi budaya modern perkotaan. Karena itu, kehidupan mereka ini sangat rentan terhadap setiap kondisi, perubahan dan pengaruh lingkungan yang terjadi. Selain itu, pendapat mereka kurang dapat menopang secara keseluruhan kebutuhan keluarga. Tentu faktor ini juga menjadi faktor penyebab percepatan perubahan dalam kehidupan keluarga tersebut. Mungkin suatu saat mereka akan melakukan apa saja untuk menghidupi keluarga karena tuntutan kebutuhan dan perubahan yang terjadi.
- Dalam pola asuh keluarga terhadap anak, pihak orang tua atau keluarga mulai memberikan kebebasan yang lebih besar kepada anak. Jelas hal ini akan memberikan akses interaksi sosial yang semakin luas terhadap anak untuk bergaul dengan teman-temannya. Sesungguhnya akses ini akan memberikan peluang kepada anak untuk mengembangkan kreativitas, kemandirian dan wawasan anak, bilamana dapat diimbangi dengan kontrol keluarga yang baik. Namun, sebaliknya bila keluarga tidak dapat mengontrolnya, tidak mustahil akan terjadi perilaku-perilaku yang a-sosiaL terhadap anak. Karena itu, perlu dilakukan pemberdayaan-pemberdayaan terhadap keluarga.
- Terlihat adanya kesamaan persepsi antara orang tua dengan anak dalam melihat beberapa variabel sikap dan perilaku sebagai perilaku nakal, seperti ; membolos sekolah, melawan guru, mejeng di pertokoan, bergadang di jalanan, pulang larut malam, tidak pulang ke rumah, berkelahi tawuran, minuman keras, narkotika, seks bebas, mencuri, memeras, membajak atau merampok. Namun, beberapa variabel sikap dan perilaku tidak dilihat sebagai perilaku nakal baik oleh anak maupun orang tua itu sendiri, seperti : berbohong, merokok, terlambat sekolah, dan tidak mau belajar. Pemandangan seperti ini akan menjadi titik masuk yang memberikan peluang ke pada anak untuk menjadi nakal.
2. SARAN
- Pendampingan. Karena perlakuan keluarga maupun lingkungan menyebabkan anak jalanan terkadang merasa bahwa mereka adalah anak yang tersingkirkan dan tidak dikasihi, olehnya kita dapat memulihkan percaya diri mereka. “Uang” kita dapat dialihkan dengan waktu yang kita berikan untuk mendampingi mereka. Dengan sikap “Penerimaan kita” tersebut dapat mengatasi “luka masa lalu” mereka.
- Bantuan Pendidikan. Kita dapat membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar, memberikan kesempatan mereka untuk sekolah lagi dengan Beasiswa, Bimbingan Uper (Ujian Persamaan) untuk anak yang telah melewati batas usia sekolah. “Uang” kita dapat kita konversi menjadi “Beasiswa” (memang pemerintah telah membebaskan uang SPP untuk sekolah negeri, Namun hal tersebut digantikan dengan pungutan lainnya bahkan lebih mahal dari pada uang SPP yang telah dihapuskan dengan mengatas namakan “uang buku”, “uang kegiatan” dan lain-lainnya.
- Bantuan Kesehatan. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan yang tidak sehat mengakibatkan mereka rentan dengan sakit penyakit. Pada kondisi sekarang mereka bukanlah tidak memiliki uang untuk berobat namun kesadaran akan mahalnya kesehatan sangat rendah dalam lingkungan mereka. Uang kita dapat kita rubah menjadi penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk awareness, subsidi obat- obatan serta subsidi perawatan kesehatan.
DARTAR PUSTAKA
- http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/19/memutus-rantai-kekerasan-terhadap-anak-jalanan/
- http://cintarakyatindonesia.wordpress.com/2011/04/18/aspek-hukum-perlindungan-dan-hak-hak-anak-jalanan/
- http://www.scribd.com/doc/9227580/Anak-Jalanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar